Sejarah Tanah Kutai ( 9 )


Dari tujuh turunan itu, terdapat Kerincing bin Salong — gelar Nala Mayang – beristrikan Tidok binti Seta. Mereka melahirkan enam anak, yakni Ugeng, Said, Mas alias Sumik, Engkeh, Lamah dan Jamal. Dan, melalui Jamal itulah tetesan darah biru Labok atau Maharaja SPA Iansyahrechza Fachlevie Wangsawarman terlahir. Labok memiliki zuriat paling tertinggi sehingga pantas menjadi Kepala Adat Besar RI itu.
Disebutkan, Jamal sendiri mulanya punya anak perempuan bernama Dedong yang diperistri Bone bin Sampo – sepupu sekali Rongge, gelar Suta Kanan – di Kota Bangun. Lantas Dedong melahirkan sepuluh anak, yakni Hajjah Rohani Bombay, Usman, Bakri, Borhan Ibor, Maskoer, Anuar B, Ifah, Masfah, Idariansyah Pidoy dan Abdul Hamid.
Masfah dan Abdul Hamid tak punya keturunan. Hj Rohani Bombay sendiri bergelar Mahaputri Sri Nala Marta Dewi. Ia bersuamikan Amer dan melahirkan tujuh anak, yakni Ahmid, Jamli, Aliansyah, Hanafi, Sabran, Rusdiana, dan Aswar Bueng. Lantas Usman yang beristri Juyah dan Timah melahirkan Rustini, Mohdar, Nyok, Jainal dan Iriani. Bakri yang beristri Diok (Tuana Tuha) melahirkan anak seperti Kartini, Suryadi, Artinah, Sapri (gelar Pangeran Srinala Wangsa Indra), Rusniah, dan Ratnawati (gelar Mahaputri Mayang Nila Dewi), Endang dan Saniah.
Borhan Ibor dengan gelar Pangeran Srinala Nata Kusuma beristrikan Badriah (gelar Mahaputri Srinila Purna Dewi) melahirkan Saidi, Sahruni, Hadri, Astuty, Rahmadi (gelar Pangeran Srinala Mangku Negara), dan Mulyadi (gelar Ni Raden Nala Kusuma Negara). Sedang Maskoer yang bergelar Pangeran Srinala Prabu Wangsa Warman yang beristrikan Rakni (gelar Mahasuri Srinila Dewi Gari) melahirkan delapan anak.
Delapan anak Pangeran Srinala Prabu Wangsa Warman itu adalah Sadeli (gelar Pangeran Srinala Wangsaragen), Fathul (gelar Pangeran Srinala Wangsayuda), Indar Nur Aini (gelar Mahaputri Srinila Kumala Dewi), Azis (meninggal), Muraini (gelar Pangeran Srinala Wangsa Warman), Murniwati (gelar Mahaputri Srinila Ratu Kumala), A Iansyahrechza Fachlevi (gelar Maharaja Srinala Pradhita Wangsawarman), dan Iliansyah (gelar Pangeran Srinala Wangsaperdana).

Melihat sejarah di atas, urai Hermawan, maka gelar Kebangsawanan adalah hak dari kerabat Kerajaan Kutai Martapura. Sebab, di dalamnya terdapat muatan pelestarian tata nilai adat istiadat dan budaya. “Tak heran, kalau seorang Labok dengan jabatan Kepala Lembaga Adat Besar di Muara Kaman dan Kepala Adat Besar RI itu merupakan jabatan secara Kelembagaan dan Keorganisasian. Ada pun gelar kebangsawanan yang digelarnya sepanjang para kerabat Kerajaan Kutai Martapura sepakat atas kerapatan Dewan Adatnya itu merupakan Haknya Kerabat,” katanya mengakhiri perbincangan.

Di bagian lain, Maharaja Srinala Sukran Wangsa Kusuma Mangku Adat melihat, sosok Labok atau Maharaja Srinala Pradhita Alpiansyahrechza Fachlevie Wangsawarman merupakan tokoh yang kharismatik. “Walau pun usianya relatif muda, dan saya lebih tua, saya sangat kagum dan patut menaruh hormat kepadanya. Dialah satu-satunya putra dari Muara Kaman yang patut dijadikan tauladan pemuda masa kini,” ucap Maharaja Srinala Sukran ketika dijumpai di daerah Liang Buaya, Muara Kaman.

Di mata Sukran, Labok adalah sosok yang cerdas, pandai, punya ilmu pengetahuan dan berwawasan luas dalam kepemimpinan. “Dia juga piawai, mudah bergaul, dan bisa menempatkan diri dalam suasana apa pun. Perilakunya sopan dan bersahaja, termasuk bertutur kata yang santun, membuat lawan bicaranya selalu senang dengannya,” timpal Maharaja Srinala Sukran, seraya mengimbau kepada semua pihak kalau menilai seseorang jangan hanya dari satu sisi saja. “Negara kita ini adalah berazaskan Pancasila dan rakyatnya berhak berkarya buat bangsanya sendiri.

Sejarah Tanah Kutai ( 9 )


Dari tujuh turunan itu, terdapat Kerincing bin Salong — gelar Nala Mayang – beristrikan Tidok binti Seta. Mereka melahirkan enam anak, yakni Ugeng, Said, Mas alias Sumik, Engkeh, Lamah dan Jamal. Dan, melalui Jamal itulah tetesan darah biru Labok atau Maharaja SPA Iansyahrechza Fachlevie Wangsawarman terlahir. Labok memiliki zuriat paling tertinggi sehingga pantas menjadi Kepala Adat Besar RI itu.
Disebutkan, Jamal sendiri mulanya punya anak perempuan bernama Dedong yang diperistri Bone bin Sampo – sepupu sekali Rongge, gelar Suta Kanan – di Kota Bangun. Lantas Dedong melahirkan sepuluh anak, yakni Hajjah Rohani Bombay, Usman, Bakri, Borhan Ibor, Maskoer, Anuar B, Ifah, Masfah, Idariansyah Pidoy dan Abdul Hamid.
Masfah dan Abdul Hamid tak punya keturunan. Hj Rohani Bombay sendiri bergelar Mahaputri Sri Nala Marta Dewi. Ia bersuamikan Amer dan melahirkan tujuh anak, yakni Ahmid, Jamli, Aliansyah, Hanafi, Sabran, Rusdiana, dan Aswar Bueng. Lantas Usman yang beristri Juyah dan Timah melahirkan Rustini, Mohdar, Nyok, Jainal dan Iriani. Bakri yang beristri Diok (Tuana Tuha) melahirkan anak seperti Kartini, Suryadi, Artinah, Sapri (gelar Pangeran Srinala Wangsa Indra), Rusniah, dan Ratnawati (gelar Mahaputri Mayang Nila Dewi), Endang dan Saniah.
Borhan Ibor dengan gelar Pangeran Srinala Nata Kusuma beristrikan Badriah (gelar Mahaputri Srinila Purna Dewi) melahirkan Saidi, Sahruni, Hadri, Astuty, Rahmadi (gelar Pangeran Srinala Mangku Negara), dan Mulyadi (gelar Ni Raden Nala Kusuma Negara). Sedang Maskoer yang bergelar Pangeran Srinala Prabu Wangsa Warman yang beristrikan Rakni (gelar Mahasuri Srinila Dewi Gari) melahirkan delapan anak.
Delapan anak Pangeran Srinala Prabu Wangsa Warman itu adalah Sadeli (gelar Pangeran Srinala Wangsaragen), Fathul (gelar Pangeran Srinala Wangsayuda), Indar Nur Aini (gelar Mahaputri Srinila Kumala Dewi), Azis (meninggal), Muraini (gelar Pangeran Srinala Wangsa Warman), Murniwati (gelar Mahaputri Srinila Ratu Kumala), A Iansyahrechza Fachlevi (gelar Maharaja Srinala Pradhita Wangsawarman), dan Iliansyah (gelar Pangeran Srinala Wangsaperdana).

Melihat sejarah di atas, urai Hermawan, maka gelar Kebangsawanan adalah hak dari kerabat Kerajaan Kutai Martapura. Sebab, di dalamnya terdapat muatan pelestarian tata nilai adat istiadat dan budaya. “Tak heran, kalau seorang Labok dengan jabatan Kepala Lembaga Adat Besar di Muara Kaman dan Kepala Adat Besar RI itu merupakan jabatan secara Kelembagaan dan Keorganisasian. Ada pun gelar kebangsawanan yang digelarnya sepanjang para kerabat Kerajaan Kutai Martapura sepakat atas kerapatan Dewan Adatnya itu merupakan Haknya Kerabat,” katanya mengakhiri perbincangan.

Di bagian lain, Maharaja Srinala Sukran Wangsa Kusuma Mangku Adat melihat, sosok Labok atau Maharaja Srinala Pradhita Alpiansyahrechza Fachlevie Wangsawarman merupakan tokoh yang kharismatik. “Walau pun usianya relatif muda, dan saya lebih tua, saya sangat kagum dan patut menaruh hormat kepadanya. Dialah satu-satunya putra dari Muara Kaman yang patut dijadikan tauladan pemuda masa kini,” ucap Maharaja Srinala Sukran ketika dijumpai di daerah Liang Buaya, Muara Kaman.

Di mata Sukran, Labok adalah sosok yang cerdas, pandai, punya ilmu pengetahuan dan berwawasan luas dalam kepemimpinan. “Dia juga piawai, mudah bergaul, dan bisa menempatkan diri dalam suasana apa pun. Perilakunya sopan dan bersahaja, termasuk bertutur kata yang santun, membuat lawan bicaranya selalu senang dengannya,” timpal Maharaja Srinala Sukran, seraya mengimbau kepada semua pihak kalau menilai seseorang jangan hanya dari satu sisi saja. “Negara kita ini adalah berazaskan Pancasila dan rakyatnya berhak berkarya buat bangsanya sendiri.

Sejarah Tanah Kutai ( 8 )


Sosok Labok yang terpilih sebagai Kepala Adat Besar RI itu diyakini memang termasuk turunan Raja Mulawarman di Muara Kaman, Kukar.

TEKA TEKI gelar kebangsawanan Labok alias Maharaja Srinala Praditha Alpiansyahrechza Fachlevie Wangsawarman mulai terkuak. Setidaknya, dua tokoh berpengaruh dari garis keturunan Raja Mulawarman di Muara Kaman, Kukar, angkat bicara. Labok yang diangkat jadi Kepala Adat Besar RI itu diakui PAR (Pangeran Aji Raden) Hermawan Wiranata, pemerhati LAI (Lembaga Adat Indonesia) dan Maharaja Srinala Sukran Wangsakusuma Mangku Adat memang termasuk turunan Raja Mulawarman yang pantas dikagumi.

Dua tokoh itu perlu mengungkap silsilah Labok, guna menjawab keragu-raguan sejumlah pihak, termasuk Karo Humas Setprov Kaltim, Zairin Zain dan pemerhati sejarah lainnya. Harapannya, dengan mengetahui silsilah Maharaja SPA Iansyachrechza Fachlevie Wangsawarman alias Labok, maka semuanya jelas siapa sebenarnya penerus Raja Mulawarman yang pernah berjaya pada zamannya itu.

Hermawan menguraikan, sejarah telah mencatat Kerajaan Hindu Tertua di Indonesia adalah Kerajaan Kutai Martapura dengan Rajanya Mulawarman. Kerajaan ini berpusat di Muara Kaman, Kabupaten Kukar, Kaltim. Tanpa memandang sederhana untuk menilai sejarah — apalagi sejarah kerajaan – logika berpikir pun harus universal. “Kalau kita menapaki sejarah hari ini, tentu tak lepas sejarah masa lalu, dan masa datang. Menilai sejarah pun harus obyektif, harus berdasarkan fakta dan data yang didasari analisa dan kajian, baik di atas meja atau pun di lapangan,” ungkapnya melalui siaran pers kepada BONGKAR!

Ia menyebut, kalau ada kerajaan pasti ada Raja, Rakyat, Istana dan lain sebagainya. Nah, kerajaan Kutai Martapura yang dimulai tahun 350 – 1605 M, memang ada. Proses pembuktiannya dibuktikan dengan peninggalan sejarah berupa tulisan Prasasti Yupa. “Dalam Prasasti Yupa itu ada dua tulisan yang dibahas dalam bahasa Sanskekerta, dan lima tulisan lainnya dibahas dalam bahasa Inggris,” ujarnya.

Seperti apa silsilahnya? Ia menceritakan, era tahun 1900, wilayah Muara Kaman menjadi Districk Hoofd masa penjajahan Belanda. Kepala wilayahnya sendiri diangkat dari kerabat Raja-raja dari Kutai Kartanegara. Sedang kerabat Kerajaan Kutai di Muara Kaman hanya menjadi Kepala Kampung. Dan, dalam catatan keluarga tersusun silsilahnya adalah Maja, gelar Nala Raja Tuha bin Danda, gelar Nala Guna. Mereka melahirkan tujuh turunan, yakni Salong, gelar Nala Mayang, disusul Tapa, Tira, Seta, Salar, Dita, dan Dira.

1. Salong, gelar Nala Mayang bin Maja, gelar Nala Raja Tuha melahirkan 4 orang anak. 1. Bendul, gelar Jaya Kerana (belum diketahui keturunannya), 2. Kerincing. 3. Selat, 4. Nai (belum diketahui keturunannya).

2. Tapa bin Maja, gelar Nala Raja Tuha melahirkan 1. Moyah, 2. Bunggek, 3. Biyah alias Mang dan 4. Ali.

3. Tira bin Maja, gelar Nala Raja Tuha melahirkan 1. Kamew, 2. Semar, 3. Pindok.

4. Seta bin Maja, gelar Nala Raja Tuha melahirkan 1. Kader, 2. Tidok, 3. Nyombet, dan 4. Amsa.

5. Dita bin Manja, gelar Nala Raja Tuha melahirkan Uwon. (anak tunggal, tak ada saudara).

6. Salar bin Maja, gelar Nala Raja Tuha melahirkan 1. Ipil, 2. Mamat, 3. Yew dan 4. Kepang.

7. Dira bin Maja, gelar Nala Raja Tuha melahirkan 1. Pangeran Perdah, 2. Kompal, 3. Lagok.

 
 
BERSAMBUNG