Sosok Labok yang terpilih sebagai Kepala Adat Besar RI itu diyakini memang termasuk turunan Raja Mulawarman di Muara Kaman, Kukar.
TEKA TEKI gelar kebangsawanan Labok alias Maharaja Srinala Praditha Alpiansyahrechza Fachlevie Wangsawarman mulai terkuak. Setidaknya, dua tokoh berpengaruh dari garis keturunan Raja Mulawarman di Muara Kaman, Kukar, angkat bicara. Labok yang diangkat jadi Kepala Adat Besar RI itu diakui PAR (Pangeran Aji Raden) Hermawan Wiranata, pemerhati LAI (Lembaga Adat Indonesia) dan Maharaja Srinala Sukran Wangsakusuma Mangku Adat memang termasuk turunan Raja Mulawarman yang pantas dikagumi.
Dua tokoh itu perlu mengungkap silsilah Labok, guna menjawab keragu-raguan sejumlah pihak, termasuk Karo Humas Setprov Kaltim, Zairin Zain dan pemerhati sejarah lainnya. Harapannya, dengan mengetahui silsilah Maharaja SPA Iansyachrechza Fachlevie Wangsawarman alias Labok, maka semuanya jelas siapa sebenarnya penerus Raja Mulawarman yang pernah berjaya pada zamannya itu.
Hermawan menguraikan, sejarah telah mencatat Kerajaan Hindu Tertua di Indonesia adalah Kerajaan Kutai Martapura dengan Rajanya Mulawarman. Kerajaan ini berpusat di Muara Kaman, Kabupaten Kukar, Kaltim. Tanpa memandang sederhana untuk menilai sejarah — apalagi sejarah kerajaan – logika berpikir pun harus universal. “Kalau kita menapaki sejarah hari ini, tentu tak lepas sejarah masa lalu, dan masa datang. Menilai sejarah pun harus obyektif, harus berdasarkan fakta dan data yang didasari analisa dan kajian, baik di atas meja atau pun di lapangan,” ungkapnya melalui siaran pers kepada BONGKAR!
Ia menyebut, kalau ada kerajaan pasti ada Raja, Rakyat, Istana dan lain sebagainya. Nah, kerajaan Kutai Martapura yang dimulai tahun 350 – 1605 M, memang ada. Proses pembuktiannya dibuktikan dengan peninggalan sejarah berupa tulisan Prasasti Yupa. “Dalam Prasasti Yupa itu ada dua tulisan yang dibahas dalam bahasa Sanskekerta, dan lima tulisan lainnya dibahas dalam bahasa Inggris,” ujarnya.
Seperti apa silsilahnya? Ia menceritakan, era tahun 1900, wilayah Muara Kaman menjadi Districk Hoofd masa penjajahan Belanda. Kepala wilayahnya sendiri diangkat dari kerabat Raja-raja dari Kutai Kartanegara. Sedang kerabat Kerajaan Kutai di Muara Kaman hanya menjadi Kepala Kampung. Dan, dalam catatan keluarga tersusun silsilahnya adalah Maja, gelar Nala Raja Tuha bin Danda, gelar Nala Guna. Mereka melahirkan tujuh turunan, yakni Salong, gelar Nala Mayang, disusul Tapa, Tira, Seta, Salar, Dita, dan Dira.
1. Salong, gelar Nala Mayang bin Maja, gelar Nala Raja Tuha melahirkan 4 orang anak. 1. Bendul, gelar Jaya Kerana (belum diketahui keturunannya), 2. Kerincing. 3. Selat, 4. Nai (belum diketahui keturunannya).
2. Tapa bin Maja, gelar Nala Raja Tuha melahirkan 1. Moyah, 2. Bunggek, 3. Biyah alias Mang dan 4. Ali.
3. Tira bin Maja, gelar Nala Raja Tuha melahirkan 1. Kamew, 2. Semar, 3. Pindok.
4. Seta bin Maja, gelar Nala Raja Tuha melahirkan 1. Kader, 2. Tidok, 3. Nyombet, dan 4. Amsa.
5. Dita bin Manja, gelar Nala Raja Tuha melahirkan Uwon. (anak tunggal, tak ada saudara).
6. Salar bin Maja, gelar Nala Raja Tuha melahirkan 1. Ipil, 2. Mamat, 3. Yew dan 4. Kepang.
7. Dira bin Maja, gelar Nala Raja Tuha melahirkan 1. Pangeran Perdah, 2. Kompal, 3. Lagok.
BERSAMBUNG